Sabtu, 25 Desember 2010

Selembar Puisi Untukmu Ibu

Dentang nafasmu menyeruak hari hingga senja
Tak ada lelah menggores wajah ayumu
Tak ada sesal kala semua harus kau lalui
Langkah itu terus berjalan untuk kami

Desah mimpimu berlari mengejar bintang
Berharap kami menjadi mutiara terindah mu
Berharap kami kan bersinar bak permata di dalam goa
Dalam semua peran yang kau mainkan di bumi
Ini peran terbaikmu

Dalam lelah kau rangkai kata bijak untuk kami
Mengurai senyum di setiap perjalanan kami
Mendera doa disetiap detik nafas kami

Ibu..
Kau berlian di hati kami
Relung hatimu begitu indah
Hingga kami tak sanggup menggapai dalamnya
Derai air matamu menguntai sebuah harap
Disetiap sholat malam mu

Ibu..
Kami hanya ingin menjadi sebuah impian untukmu
Membopong semua mimpimu dalam pundak kami

Ibu..
Kau selalu ada
Disetiap hembusan nafas kami
Disetiap langkah kaki kami
Disetiap apa yang kami gapai
Karena kau begitu berarti dalam hidup kami

Ibu..
Jangan benci kami
Jika kami membuatmu menangis
Hanya tangis kami sebagai saksi
Atas rasa cinta kami kepadamu

LOVE YOU MOM.!! :*

Alone

One travels more usefully when alone, because he reflects more (Thomas Jefferson)


Aku tulis catatan ini ketika aku sedang sendiri. Waktu itu aku berada dalam keheningan malam. Sebenarnya aku sudah diingatkan untuk tidur, menikmati waktu pulasku lebih banyak, setelah sekian lama terampas oleh banyak kletik-kletik yang kulakukan saat malam hingga dini hari. Namun, tak urung, aku seret juga tubuhku ke ladang yang nyaris terlupakan ini. Aku terlalu banyak bermain di jaringan yang mengasyikkan, sehingga lupa punya satu ladang yang harus aku tanami dan berbagi dengan yang lain.

 
Apa yang hendak aku tulis? aku sendiri tak punya ide. Hanya saat begini, kata “sendiri” menjadi lebih mengemuka. Ketika aku berada dalam situasi seperti ini, dan tak banyak kegiatan yang bisa aku lakukan, banyak cermin yang muncul di hadapanku. Cermin yang menayangkan kehidupanku sendiri. Banyak waktu yang berwarna hitam dan kosong musti aku lewatkan. Berpikir dengan caraku sendiri, bertindak dengan cara yang aku pahami nilai baiknya, dan mengambil keputusan dengan berpegang pada tempatku berdiri sendirian. Kadang aku merasa terlalu egois untuk semua ini. Berpikir dengan caraku sendiri sering menempatkanku pada posisi yang konfrontatif dengan orang lain. Dan sering aku banyak kehilangan sesuatu ketika pikiranku itu mengubur keinginan orang lain. Kebiasaan buruk yang susah sekali aku bendung.

Dari cermin yang muncul, rasanya, aku memang harus lebih banyak belajar berdamai dengan kenyataan. Tak melulu mengedepankan keinginan dan ego untuk bertarung menghadapi hidup. Belajar mengamini duka sebagai salah satu jalan untuk mencapai kesadaran spiritual yang tinggi. Belajar berserah pada banyak keadaan untuk memperkaya jiwa. Dan itu menuntutku untuk tidak berpikir a la aku sendiri. Toh, dalam hidup ini ada karma tentang sebab akibat dalam kehidupan.

Saat berada dalam situasi begini, ketika lagi-lagi kata sendirian menyeruak, aku teringat sebuah kalimat tentang sebuah pesta. Ketika lampu pesta dinyalakan, semua orang bergembira, saling menyapa, saling memeluk, saling menebar hangat, namun ketika pesta telah usai, lampu-lampu padam, kita kembali ke kehidupan masing-masing. Bahkan mungkin sang pengundang sudah lupa pada siapa saja yang diundang dalam pestanya. Hanya sebuah kesenangan sesaat, kemudian kembali lagi sendiri. Yak, sendiri. Lagi-lagi sendiri.

Aku seperti baru saja datang ke pesta itu. Lalu kembali ke kesendirian yang menjadi hakikatku saat ini. Menekuri jalan panjang yang harus aku retas sendiri. Mencoba mengurai benang kusut yang terjalin, demi untuk mencapai kebahagiaanku di depan sana. Semoga sampai di alamat yang aku tuju di sana. Di nirwana yang jauh, yang saat ini hanya bisa aku lihat melalui teropong berlensa panjang. Semoga….

Maaf, mungkin berloncatan saat aku menulis ini. Rasa sakit di kepala dan tenggorokanku yang merajalela merampas kelincahanku untuk berpikir dengan struktur yang baik. Aku hanya mencoba sebuah terapi menulis untuk meringankan semua kelindan pikiran yang berloncatan di kepalaku. Dan sekali lagi semoga ini menjadi bahan renungan buatku sendiri dalam menjalani hidup. Ketika tiba di titik nadir, aku semakin tercerahkan untuk mengarifi kehidupan. Dan ini hanya sebuah catatan tentang cermin yang muncul dalam kesendirian.

Kau Matahari dan Aku Bumi

Kau adalah matahari. Pembongkar kesadaranku akan hidup. Sinarmu, terik memercik, menyilaukan, mampu membuatku buta pada banyak hal. Sekaligus, cahaya itu yang menjadi terang dalam gelapku. Solarmu adalah tenaga kehidupanku, pemberi energi abadi. Duhai, bintang pusat galaksi bima sakti, kau adalah pusat mikrokosmosku.

Aku adalah bumi. Belajar bersabar menunggumu di tiap-tiap fajar. Dan ketika malam tiba, aku termangu pada bulan, menantikan pantul sinarmu di permukaan bulan. Ketika senja datang membawa resahku, aku percaya, kau tak pernah hilang ditelan ufuk.  Kau hanya berkitar pada realitas dan sejatimu yang lain. Dan aku rela menanti pada sejati yang aku percayai. Rotasiku mungkin tak sesempurna lingkaran. Ia adalah elips, mengambil jarak terdekat dan terjauhnya, bergantian, untuk memberimu ruang, untuk memberiku jarak. Tapi percayalah,  aku adalah bumi, berotasi padamu untuk keabadian.

Lalu cakrawala. Di zona itu keberanian diuji. Berani melepasmu untuk menjumpaimu lagi. Akankah kau terlambat datang? Akankah ujian itu menghilangkan keberanianmu untuk datang lagi  esok? Matahari, tempuhlah ujianmu, bumimu memiliki ujian kesabaran untuk menunggu. Di sanalah letak arti penantian.




Kau matahari dan aku bumi. Kita berjarak 148 juta kilometer. Lalu, berapa jarak hati kita?

Kau matahari dan aku bumi. Membutuhkan waktu 8 menit sinarmu mencapaiku, tapi prominensa mu menjulur tak berkesudahan.

Kau matahari dan aku bumi. Perjuangan kehidupan yang lebih dari kata-kata. Semoga.

Catatan Pertama dan Selalu Menjadi yang Terindah

''Dewi Temaram''


Senja tlah tiba, di sambut dengan terbitnya rembulan.
Aku duduk termenung, di hening gelapnya malam.
Bintang berkedip memberi isyarat.
Sang dewi menjelma.

Sesosok pribadi menapak bumi perlahan.
Anggun...
Rambutnya terurai berkilau.
Wajahnya elok tak bercela.
Matanya indah.
Senyumnya manis berpadu sempurna dengan rona pipinya.
Tubuhnya harum semerbak, keharuman yg membuat jiwa terbangun.

Sang dewi menghampiriku.
Mencipta rindu, membangkitkan asa.
Aku hanya terdiam. Tak tahu harus berbuat apa. Bibir terkatup lidah pun kelu.

Hasrat memacu, akal berpendar.
Rindu menggebu, tangan terbelenggu.

Mataku hanya tertuju padanya. Tersihir pesonanya.

Aku mencoba meraihnya. Tanganku berusaha menggapainya.
Tak terjangkau...

Akalku sontak bertanya, hatiku berontak.
Akankah dia kumiliki ? Dapatkah hatiku mengikatnya ?

Sang Dewi pergi menjauh membawa mimpiku yang terganti oleh turunnya embun.

Bintang pun kembali dan rembulan tenggelam kepangkuan Sang Dewi.


*Syair itu dibuatnya pada 31 August 2010 pukul 22:27. Hemm, cukup mengejutkan. Saat aku mulai merasakan sesuatu, aku pun melihat syair itu, dan itu cukup membuat ku panik. Aku mulai merasa takut kehilangannya. Kehilangan perhatiannya, senyumnya, bahkan dirinya. Tapi tak lama dia membuat syair itu, dia pun menyatakan sesuatu pada ku. Oh, Tuhan.!! Aku malu mendengarnya. Tapi itu nyata. Kami tau kami berbeda, tapi aku yakin Engkau memiliki cara lain untuk membuat semuanya lebih baik.

Aku dan Hidupku

Telur..
Saat aku masih menjadi telur, tak sedikit dari mereka yang bertanya "akan menjadi siapakah dia nanti?"
Mereka menunggu.

Ulat..
Saat aku menetas, tumbuh menjadi ulat tak sedikit dari mereka yang menjauhi ku.
Menatap ku dengan tatapan jijik.
Aku hanya bisa berkata..
"Hei, akupun mahkluk hidup! Aku bukan benda menjijikan. Aku sama seperti kalian. Kalian pun pernah berada diposisi ku. Mungkin bentuk ku kali ini memang menjijikan. Tapi kalian tak tahu akan menjadi apa aku nanti.!"
Mungkin aku aku marah pada lingkungan ku, dan benar adanya jika aku bersedih.
Aku tak menyangkalnya..

Kini aku ingin merubah semuanya.
Merubah pandangan itu, semuanya..

Bagiku menutup diri tidak terlalu buruk.
Ya, menarik diri dari lingkungan dan  mulai menutup diri, menutup diri ku dengan kokon.
Kepompong..
Saat ini aku memang kurang peduli dengan lingkungan ku.
Begitupun dengan mereka yang jarang memperhatikan keberadaan ku kini.

Tak sulit bagi ku berada di posisi ini.
Karena hidup telah membawa ku pada kebiasaan pahit ini.
Sendiri diantara kerumunan banyak orang.
Sepi diantara keramaian.
Dan pahit sekalipun harus menjilat gula.

Aku berharap, kelak aku akan menjadi kupu kupu yang cantik walaupun bukan yang tercantik.
Setidaknya aku bisa membuat banyak orang tersenyum ketika melihat