One travels more usefully when alone, because he reflects more (Thomas Jefferson)
Aku tulis catatan ini ketika aku sedang sendiri. Waktu itu aku berada dalam keheningan malam. Sebenarnya aku sudah diingatkan untuk tidur, menikmati waktu pulasku lebih banyak, setelah sekian lama terampas oleh banyak kletik-kletik yang kulakukan saat malam hingga dini hari. Namun, tak urung, aku seret juga tubuhku ke ladang yang nyaris terlupakan ini. Aku terlalu banyak bermain di jaringan yang mengasyikkan, sehingga lupa punya satu ladang yang harus aku tanami dan berbagi dengan yang lain.
Apa yang hendak aku tulis? aku sendiri tak punya ide. Hanya saat begini, kata “sendiri” menjadi lebih mengemuka. Ketika aku berada dalam situasi seperti ini, dan tak banyak kegiatan yang bisa aku lakukan, banyak cermin yang muncul di hadapanku. Cermin yang menayangkan kehidupanku sendiri. Banyak waktu yang berwarna hitam dan kosong musti aku lewatkan. Berpikir dengan caraku sendiri, bertindak dengan cara yang aku pahami nilai baiknya, dan mengambil keputusan dengan berpegang pada tempatku berdiri sendirian. Kadang aku merasa terlalu egois untuk semua ini. Berpikir dengan caraku sendiri sering menempatkanku pada posisi yang konfrontatif dengan orang lain. Dan sering aku banyak kehilangan sesuatu ketika pikiranku itu mengubur keinginan orang lain. Kebiasaan buruk yang susah sekali aku bendung.
Dari cermin yang muncul, rasanya, aku memang harus lebih banyak belajar berdamai dengan kenyataan. Tak melulu mengedepankan keinginan dan ego untuk bertarung menghadapi hidup. Belajar mengamini duka sebagai salah satu jalan untuk mencapai kesadaran spiritual yang tinggi. Belajar berserah pada banyak keadaan untuk memperkaya jiwa. Dan itu menuntutku untuk tidak berpikir a la aku sendiri. Toh, dalam hidup ini ada karma tentang sebab akibat dalam kehidupan.
Saat berada dalam situasi begini, ketika lagi-lagi kata sendirian menyeruak, aku teringat sebuah kalimat tentang sebuah pesta. Ketika lampu pesta dinyalakan, semua orang bergembira, saling menyapa, saling memeluk, saling menebar hangat, namun ketika pesta telah usai, lampu-lampu padam, kita kembali ke kehidupan masing-masing. Bahkan mungkin sang pengundang sudah lupa pada siapa saja yang diundang dalam pestanya. Hanya sebuah kesenangan sesaat, kemudian kembali lagi sendiri. Yak, sendiri. Lagi-lagi sendiri.
Aku seperti baru saja datang ke pesta itu. Lalu kembali ke kesendirian yang menjadi hakikatku saat ini. Menekuri jalan panjang yang harus aku retas sendiri. Mencoba mengurai benang kusut yang terjalin, demi untuk mencapai kebahagiaanku di depan sana. Semoga sampai di alamat yang aku tuju di sana. Di nirwana yang jauh, yang saat ini hanya bisa aku lihat melalui teropong berlensa panjang. Semoga….
Maaf, mungkin berloncatan saat aku menulis ini. Rasa sakit di kepala dan tenggorokanku yang merajalela merampas kelincahanku untuk berpikir dengan struktur yang baik. Aku hanya mencoba sebuah terapi menulis untuk meringankan semua kelindan pikiran yang berloncatan di kepalaku. Dan sekali lagi semoga ini menjadi bahan renungan buatku sendiri dalam menjalani hidup. Ketika tiba di titik nadir, aku semakin tercerahkan untuk mengarifi kehidupan. Dan ini hanya sebuah catatan tentang cermin yang muncul dalam kesendirian.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar